Frater yang adalah Guru |
Setiap
hari Jumat, Para Frater tingkat II selalu menjalani profesinya sebagai Guru
Agama Katolik. Menjadi Guru Agama Katolik adalah salah satu bentuk kegiatan kerasulan yang
harus kami tanggungjawabi sebagai tingkat II. Kami disebar ke berbagai
sekolah-sekolah Negeri dan Swasta. Baik untuk tingkat SD, SMP, dan juga SMU.
Baik di dalam kota maupun di luar kota Pematangsiantar. Seperti biasanya, hari
Jumat adalah hari istimewa yang secara khusus sudah dikhususkan bagi kami untuk
menjalani aktivitas mengajar. Artinya bahwa setiap hari Jumat kami Para Frater tingkat
II tidak akan mendengarkan penjelasan perkuliahan dari Dosen, melainkan menjadi
pengajar kepada para anak didik kami masing-masing.
“Kulangkahkan
kakiku dengan penuh kegembiraan menuju tempat yang akan kusirami”. Di pintu
gerbang sekolah yang bercat kuning itu terpampang plangkat “SMA/SMK SWASTA PELITA
Pematangsiantar”. Seperti biasanya, saya selalu menyapa setiap murid, baik yang beragama katolik maupun non-katolik
dan para guru yang saya jumpai di sekolah itu dengan penuh cinta.
Namun, ketika saya menyapa beberapa guru yang ada di sekolah itu, saya justu menerima balasan yang membuat saya
kecewa dan sedih, seperti yang sudah putus harapan. Mengapa??? Karena guru yang
saya sapa itu, sama sekali tidak memberi balasan sekatapun. Saat itu, saya
hanya bisa mengelus-elus dada sambil berkata dalam hati:
“sabar...sabar...sabar, mungkin inilah tantangan bagi hidup saya sebagai guru
pemula. Walaupun demikian, saya harus tetap berkomitmen untuk menjadi orang
yang sabar, sopan, ramah, dan selalu menyapa guru-guru yang ada di sekolah itu
kendati tidak ada balasan sekatapun. Sebelum
saya berkomat-kamit di dalam
ruangan kelas, saya selalu menempatkan waktu
untuk berbincang-bincang, atau lebih tepatnya berbasa-basi
dengan para murid baik beragama katolik maupun non-katolik dan para guru. Umumnya,
belajar Agama Katolik hanya diajarkan kepada mereka yang beragama Katolik dan dilakukan
di luar jam sekolah. Artinya setelah guru, dan siswa-siswi di sekolah itu
pulang, maka aktivitas kami baru dimulai,
jadi
tidak jarang bahwa saya akan melihat wajah-wajah berbentuk “persegi” dari anak
didik saya. Mungkin karena mereka merasa malas, bosan, atau rasa jenuh dan penat.
*****
Jumlah anak didik saya ada dua puluh enam orang. Tidak jarang dari jumlah yang sedikit itu selalu saja ada yang tidak hadir tanpa penjelasan apapun. Paling menyedihkan lagi bila mereka “cabut” di depan mata alias “bolos”. Dari jumlah yang sedikit itu, hanya sekitar belasan murid yang mau bersedia mengikuti les agama, selebihnya entah pergi kemana. Namun, yang paling membuat saya habis pikir, ketika pada saat ujian. Mereka yang tidak pernah mengikuti les agama, justru mengikuti ujian. Bagaimanakah mereka ini dapat mengisi soal-soal ujian padahal mereka sama sekali tidak mengikuti les agama?, atau mungkin mereka sudah pintar, terlalu pintar, atau sama sekali tidak pintar? Pertanyaan inilah yang selalu membuat saya bertanya-tanya, apabila murid-murid tidak masuk les agama tanpa penjelasan apapun. Dalam proses belajar-mengajar, masih banyak diantara mereka yang belum memberikan hati sepenuhnya untuk mengikuti jam pelajaran ini, di mana mereka selalu sibuk dengan dirinya sendiri, baik itu bermain Hp, tidur di kelas, dan ribut sana-sini, bahkan ada yang 3D, 1P (Datang, Duduk, Diam, dan Pulang). Mengatasi persoalan-persoalan seperti ini, membuat saya merasa sangat bingung, dilema, bahkan bagaimana saya harus bertindak sebagai seorang Frater yang adalah Guru. Bagi mereka, seorang Frater itu tidak boleh marah, memukul, apalagi memberi hukuman fisik. Di sinilah, iman dan kesetiaan saya ditantang, apakah saya harus mengalah dan keluar dari situasi ini.
*****
“Domba-domba-Ku mengenal Aku dan Aku mengenal domba-domba-Ku” (Yoh 10:14). Berdasarkan teks biblis ini saya mencoba untuk mengenal mereka satu persatu, mulai dari nama, alamat rumah bahkan tempat dan tanggal lahir mereka. Saya berusaha supaya mereka menerima kehadiran saya dan menjadi bagian dari kelompok mereka. Berhadapan dengan mereka, mengingatkan saya akan kenangan masa lalu ketika saya masih duduk di bangku sekolah pada usia seperti mereka. “Frater ... permisi, saya sakit”, “Frater ... permisi, mau pulang kampung!”, “Frater ... permisi, tidak ikut les agama, lagi malas!”, dan masih banyak alasana lain yang mereka ungkapkan untuk menghindari jam pelajaran ini. Namun yang paling membuat saya terperanggah ketika saya bertanya kepada seorang siswi, “Mengapa kamu tidak ikut les agama?”, Siswi tersebut menjawab dengan nada tegas,” Lagi datang Iblis kepada saya ... Frater!. Mendengar ungkapan itu, saya tidak bisa berkata-kata apa-apa. Saya hanya terdiam dan merasa sedih, membiarkan dia pergi dari hadapan saya.
*****
Materi
yang saya ajarkan hanya
seputar pengetahuan dasar dan pengetahuan umum mengenai Iman Katolik. Ternyata, tidak
jarang saya menemukan bahwa di antara mereka masih ada yang “kabur” dengan pengetahuan
imannya. Bahkan arti Tanda
Salib pun tidak tahu.
Sebagai Frater yang adalah guru,
saya harus memiliki nilai lebih. Salah satunya adalah menjadi sahabat mereka
dan menjadi tempat keluh kesah mereka. Banyak pengalaman bahagia dan
menyedihkan selama bersama mereka, bahkan kekecewaan yang membuat saya kadang
tertawa, marah, tersenyum, dan bingung. Pertemuan saya dengan mereka memberikan
makna tersendiri dan peneguh bagi panggilan saya.
Yesus
sebagai Guru Agung dan teladan memberikan inspirasi dan peneguh batin dalam
suka dan duka bersama dengan anak didik saya. Menjadi guru ternyata tidak
gampang, harus membutuhkan pengorbanan, kerendahan hati, penyangkalan diri, dan
persiapan matang di samping harus menjadi sahabat. Kegiatan mengajar merupakan
bentuk dari kesaksian hidup saya untuk membangun dan mengembangkan iman anak
didik kepada Gereja dan Bangsa. Saya juga dituntut untuk melibatkan dan memberi
diri untuk menemukan jendela dunia anak didik dengan memahami bahwa iman
seorang katolik itu tidak hanya sebatas dimiliki dan dipahami, akan tetapi
dinyatakan dalam perbuatan sehari-hari. Mereka adalah generasi penerus Gereja
dan Bangsa yang membutuhkan perhatian dan dukungan yang sangat serius. Oleh
karena itu, semoga dengan kehadiran saya, para anak didik semakin
mengenal, memahami, dan bertindak sesuai dengan
imannya yang berpusat pada Yesus Kristus Sang Guru Agung.
0 Komentar