I. Pengantar
Manusia
memiliki ambang keterbatasan dalam kekuatan dirinya dan dalam kehidupan nyata,
secara jelas manusia kerapkali merasakan
adanya kekuatan-kekuatan yang datang dari luar dirinya, yang tidak dapat
diperbuat oleh manusia. Untuk orang-orang tertentu ada yang mengatakan bahwa
kekuatan itu ialah yang Ilahi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Yang Maha
Kuasa atau Maha Segalanya. Atas kesadaran akan adanya sesuatu yang Ilahi itu,
membuat menusia menyembah, memohon dan berharap akan pertolongan dari yang
Ilahi tersebut. Manusia memohon agar perjalanan kehidupannya berada dalam
bantuan dan tutunan yang Ilahi.
Demikian halnya dalam suku Batak Toba, menyakini bahwa adanya suatu yang Ilahi, yang berkuasa dalam jagat raya, yang merajai dan menaungi masyarakat Batak Toba. Sesuatu yang Ilahi itu mereka sebut “Debata Mulajadi Nabolon”, yang kepada-Nya-lah orang Batak Toba memohon dan berharap akan pendampingan-Nya dalam hidup mereka. Bimbingan dari yang Ilahi dirasakan oleh masyarakat Batak Toba. Inilah menjadi suatu pewahyuan yang Ilahi atas diri mereka. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan memaparkan konsep tentang Allah Tinggi dan pewahyuan diri Allah Tinggi yang terdapat dalam budaya Batak Toba.
II.
Konsep Allah Tinggi dalam Budaya Batak Toba
Dalam
mite Batak toba, konsep Allah Tinggi dikenal dengan nama Debata yang
merupakan penjelmaan dari kekuatan tertinggi. Debata juga sering disebut sebagai Mulajadi Nabolon atau Ompu
Tuhan Mulajadi Nabolon, Ompunta Debata Nabolon. Mulajadi
Nabolon adalah pencipta dan pemula genesis, atau “yang bermula dari dirinya”.
Menurut paham Batak, Allah ini adalah dewa pribadi. Ia bermukim di tingkat
kayangan tertinggi. Allah Tinggi ini disifatkan sebagai ketidak-matian dan
kemahakuasaan, dan sejatinya dialah pencipta segala sesuatu termasuk para
dewata (debata). Di suatu loka, loka
bahari, terdapatlah Ompu kita yang
bergelar Tuan Bubi na Bolon.[1]
“Loka Bahari” adalah ungkapan tempat dan waktu untuk mengungkapkan kebakaan
Mulajadi Nabolon. “Tuhan Mula jadi tidak bermula”. Kata Mulajadi adalah bentukan dari kata mula dan jadi[2].
Mula berarti awal atau parmulaan dan jadi. Kombinasi kedua kata berarti
berari “permulaan kejadian” atau ‘awal genesis”. Bolon artinya agung, akbar. Dengan nama ini Mulajadi Nabolon diketengahkan sebagai pencipta. Allah Tinggi
adalah sebagai “pemulai” genesis dan bukan hanya sekadar “Awal-mula”. Allah
Tinggi adalah sebagai “Pencipta” alam semesta: “Ibana do manjadihon nasa na adong”,Dialah menjadikan segala
sesuatu. Dialah yang menjadi “sebab” dari “genesis”, yang secara aktif memulai
alam ciptaan. Sementara kata Ompu (ng)
mengandung pelbagai arti, sesuai dengan kondisi dan konteks pemakaiannya. Ompu digunakan kepada orang-orang yang
unggul dalam kuasa, martabat dan kekudusan. Dalam konteks religius, ompu digunakan untuk menunjukkan
ketakwaan (sembah suci). “Ompu adalah sebutan kepada semua yang
ingin dipuja”[3].
Dewa-dewi, pengada-pengada adikodrati, termasuk Allah Tinggi, Mulajadi Nabolon, diseru bersama-sama
sebagai ompu.
Mulajadi Nabolon memiliki tiga perwujudan diri yang merupakan perwujudan dari kuasanya atas alam semesta. Ketiga perwujudan ini disebut sebagai “Dewata Trimurti” (debata na tolu). Dari ketiga dewata tersebut memiliki tugas khusus untuk menangani ciptaan agar semuanya berjalan dengan seimbang, teratur, dan tertib. Adapun Dewata Trimurti itu ialah Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Masyarakat Batak Toba percaya adanya tiga dunia yaitu dunia atas (Banua Ginjang), dunia tengah (Banua Tonga), dan dunia bawah (Banua Toru). Masing-masing dunia ini dihuni oleh Dewata.[4] Dunia atas, pada langit yang ketujuh didiami oleh Mulajadi Nabolon. Di dunia atas pada langit keenam tinggal juga “dewata yang tiga’, yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Dunia tengah, didiami oleh Debata Idup, Boraspati ni tano, dan Boru Saniang naga. Masih ada penghuni lain di dunia tengah yaitu Sibaso Nabolon atau Silaon Nabolon. Silaon Nabolon ialah roh nenek moyang bersama manusia. Dunia bawah, adalah tempat setan-setan dan Naga Padoha. Naga Padoha adalah personifikasi kekuatan jahat.
III.
Hubungan Debata Mulajadi Nabolon dengan Dewata Trimurti
Masalah
yang hendak dibahas di sini adalah hubungan antara Mulajadi Nabolon dan dewa-dewi, sebagai pewahyuan diri
Mulajadi Nabolon untuk menata kehidupan
umat manusia kearah yang lebih baik. Pewahyuan diri Mulajadi Nabolon, khususnya
ketiga dewa utama, “Dewata Trimurti” agama Batak Toba, yakni Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Hubungan antara Dewata
Trimurti dengan Mulajadi Nabolon adalah:
Pertama, menurut Philip Tobing
(antropolog Batak Toba), dewa-dewi dipandang identik dengan dan merupakan
personifikasi Mulajadi Nabolon. Kedua,
menurut Ködding dan Löeb, dewa-dewi tergantung pada Allah Tinggi dalam
eksistensi, tetapi bertindak sendiri bebas daripadanya. Ketiga, posisi yang kita anut, mereka sungguh tergantung pada Allah
Tinggi untuk eksistensi, tetapi hanya secara relatif dalam hal mengurusi dunia.
Mulajadi Nabolon, The High God, sekaligus transenden dan
imanen. Dia transenden karena adanya adalah kekal, ompung (the great Lord), sama sekali lain (Wholly-Other-Ness). Mulajadi Nabolon adalah pencipta
kosmos dan segala isinya, termasuk “Dewata Trimurti”. Tetapi sekaligus juga
imanen melalui berbagai pengalaman numina
(pewahyuan ilahi) dalam suatu hidup yang dinamis dan kosmos yang kudus.[5]
Dewata Trimurti dicipta langsung oleh Mulajadi Nabolon, menyebut ketiga Dewata sebagai “tiga manusia”.[6] Ketika utusan (Si Leangleang Mandi dan Si Leangleang Nabolon) bertanya kepada Mulajadi Nabolon, nama ketiga pengada itu, Allah Tinggi menjawab: “Itu Manusia” (Jolma do i). Meskipun demikian, ketiga Dewata mungkin adalah ‘manusia’ istimewa, sebab mereka menyandang ciri ilahi. Mereka sungguh dipuja dan dari itu mereka disebut dewa. Mulajadi Nabolon menyelenggarakan dunia lewat jasa mereka.
1.
Batara Guru dan Kuasa Mencipta[7]
Batara
Guru disebut “mahir pada ajaran” (panungkunan
di poda) dan “mahir pada hukum” (panungkunan
di uhun). Dialah yang menetapkan, mendasarkan dan melandaskan suatu yang
bersifat dasar, seperti adat.[8] Adat adalah sumber kebijaksanaan dan
pengetahuan agama. Maknanya yang lebih dalam ialah asosiasinya dengan tata (order), yang dipertentangkan dengan
ketaktertataan (khaos bahari). Lewat
kebijaksanaa adat, diakui bahwa
“perintah dan hukum-hukumlah” yang mengkaji apakah halnya menjadi hidup atau
binasa; hal baik atau buruk; hal boleh atau terlarang. Pada tingkatan
kebijaksanaan, perintah dan hukum, Batara Guru adalah ‘Guru’ dan barangsiapa
menaati sistem hukum ini berarti menaati kehendak Allah, dan akan menjadi kudus
serta menikmati usia lanjut.
Adat sebagai reksa adalah tindak pengakhiran khaos bahari pada Benua Tengah yang dipahami sebagai tindak mencipta dari Allah Tinggi. Penciptaan manusia baru di Benua Tengah dipahami sebagai tindak pengiriman seorang jiwa oleh Batara Guru, menerima tubuh dalam kandungan ibu. Dan tatkala manusia meninggal dunia, jiwa kembali ‘asalnya’, dengan bantuan Batara Guru. Dalam hubungan ini, Batara Guru dianggap tuan penentu bagi kelahiran dan kematian. “Dewata Batara Guru, Tuan Partungkoan Dewata, penentu tondi dan sahala manusia di Benua Tengah’ Ia memanggil dan mengundang untuk menentukan porsi dalam hal nasib baik dan buruk”. Singkatnya, fungsi khas dan peranan Batara Guru sangat terkait dengan tindak penciptaan Mulajadi Nabolon. Oleh karena itu, tidak terdapat pertentangan antara Mulajadi Nabolon, sebagai Pemulai Genesis Agung, dan Batara Guru, sebagai administrator dari peranan penciptaan. Batara Guru adalah refleksi dan personifikasi dari tindak penciptaan Mulajadi Nabolon. Inti dari doa-doa kepada Dewata Batara Guru adalah bertanggungjawab atas tondi/sahala manusia di Benua Tengah, yang akan lahir dan mati. Ia mengulur ke bawah, menjadi tangga naik ke atas lewat mimpi atau pernasiban.
2.
Soripada dan Kuasa Menyelenggara[9]
Soripada diyakini menjadi raja penyelenggara dunia. Ia adalah pelindung huma-sawah, penjaga anak-anak dan ia memamongi bangsa manusia seperti gembala mengembalakan kerbaunya. Ia dihormati sebagai penjaga keadilan sejati dan standar ukuran. Mencuri dan menyogok tidak ditemukan padanya. Sebagai pamong yang baik, ia bersifat santun dan terhormat. Ia juga menyandang martabat raja. Ia menyandang lambang kebesaran raja, ‘gajah menggunung’, pisau ‘kudus adikodrati’, ‘pisau sukacita’ dan lembing terhias anggun. Soripada adalah pendasar kerajaan Batak dan oleh kebijaksanaan kepamongannya terdapat kemakmuran dan sukacita. Orang menjadi kaya, sangat terhormat dan berkenan kepada Allah. Pada pihak lain, terkait pemerintahan ciptaan, Mulajadi Nabolon berkata: “Kayangan tingkat ketujuh adalah tempat mukimku, yang mengatasi segala sesuatu. Dari sana aku mengendalikan segala sesuatu”. Oleh karena itu, Soripada adalah cerminan dan personifikasi tindak pemerintahan Mulajadi Nabolon. Inti dari doa-doa Dewata Soripada adalah bertanggungjawab atas hidup manusia yang tercipta di Benua Tengah. Memberi kemakmuran dan keselamatan, agar berbahagia dan sehat-sehat, tercapai cita-cita dan usaha berkesampaian.
3.
Mangala Bulan dan Kuasa Menetapkan[10]
Mangala
Bulan adalah pribadi ketiga dari Dewata Trimurti, menyandang ciri yang sangat khas. Di satu pihak,
orang berdoa kepadanya memohon berkat, kekayaan, kesejahteraan dan usia lanjut.
Pada pihal lain, ia sungguh adalah ‘pemantik pertengkaran’ dan ditakuti karena
kepahlawanan yang tak beradab dan ia melalap buku-buku kayu serta meminum darah
mentah sembari ia bersifat kebal. Kalau manusia memohon berkat dan perlindungan
kepada Batara Guru dan Soripada, Mangala Bulan dipuja untuk hal-hal baik dan
buruk. Orang-orang bersalah dan pelanggar hukum dihukumnya dengan kehancuran
yang tak terampuni dan kematian.
Ide menghakimi dan menghukum para pelanggar hukum Tuhan pastilah disandang oleh Mulajadi Nabolon. Namun orang-orang yang menaati hukumnya dan menyesal atas pelanggaran akan mendapat belaskasihan. Hanya orang-orang yang keras kepala dan angkuh saja akan dihukum tanpa ampun. Allah bukan saja Tuhan yang berbelaskasih, tetapi juga hakim yang tegas. Tuhan dialami bukan hanya sebagai sumber penyelamatan dan penghiburan, tetapi juga pengadilan dan penghukuman. Pengadilan dari Mulajadi Nabolon yang mencakup berkat, ganjaran, belaskasih dan juga penghukuman, dihadirkan dan dicerminkan oleh Mangala Bulan. Mangala Bulan adalah personifikasi dari tindak pengadilan dari Mulajadi Nabolon. Inti doa-doa kepada Dewata Mangala Bulan adalah tanggungjawab atas segala hukuman terhadap semua orang tercipta di Benua Tengah. Menghukum semua penjahat dan penipu, penyebab penyakit dan bala, kesusahan dan marabahaya di atas bumi.
IV.
Transendensi dan Imanensi Debata Mulajadi
Nabolon[11]
1.
Transendensi
Transendensi
Allah Tinggi diindikasikan oleh keabadiannya, sebab ia menjadikan ciptaan dalam
waktu. Alam ciptaan tergantung pada-Nya secara transendental, sebab Dia adalah
Sang Pencipta yang mahakuasa. Juga istilah Ompung mengindikasikan
transendensi Allah Tinggi, justru karena menunjukkan penundukan kepada kuasa
dan kewibawaan Allah Tinggi. Selain kemenciptaan Allah Tinggi, paham mengenai
Tuhan kayangan dan karakter pribadinya tergolong unsur-unsur tangguh
transendensi. Gelar-gelar pribadi Allah Tinggi menunjukkan adanya pengada lain
yang bukan termasuk pribadi itu, dan yang bergantung kepada pribadi Tuhan.
Hubungan
transenden antara Allah Tinggi dengan Pohon Penciptaan ditunjukkan oleh teks
yang mencatat bahwa Allah Tinggi menciptanya. Juga Dewata Trimurti dicipta oleh
Allah Tinggi. Dewa-dewi lainnya juga, yang lebih rendah dari Dewata Trimurti,
tentulah dicipta oleh Mulajadi Nabolon.
Hubungan Tuhan dengan alam ciptaan dicirikan oleh ungkapan “Allah mencipta
langit dan bumi dan segala isinya”. Penegasan ini tidak sangsi dikenakan kepada
Benua Atas dan Benua Tengah, kendati kepada Benua Bawah dapat diperdebatkan.
Bagaimanapun, Allah Tinggi selalu mengungguli kekuatan Benua Bawah,
sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan berulang pada setiap pertabrakan antara
keduanya, Mulajadi Nabolon, seturut paham Vergote, terindikasikan
sebagai Sang Transenden. Hambanya Si Boru Deang Parujar, para dayang,
alam semesta, dan bahkan Naga Padoha sendiri harus tunduk kepada
kewibawaan Allah Tinggi.
Juga
manusia bergantung secara transenden pada Allah Tinggi, justru karena merupakan
makhluk ciptaan Tuhan. Kemahakuasaan Tuhan diindikasikan dalam mempersiapkan
paradis bahari manusia perdana, dalam kejatuhannya dan keberdosaan serta derita
hukumannya. Selain itu, penentuan nasibnya, ketundukannya kepada musibah,
kemampuannya yang terbatas, dan kematiannya menunjuk kepada paham transendensi
yang sama dari Tuhan.
2.
Imanensi
Imanensi
Allah Tinggi dicerminkan oleh pengalaman kedalaman. Pohon kehidupan dilihat
sebagai aktualitas konkretnya dalam alam semesta dan yang dianggap sebagai
lambang kuasa kreatif, penyelenggaraan dan penetapan Allah Tinggi, dan dengan
demikian menimbulkan pengalaman akan pelbagai numina dalam alam semesta yang secara dinamis hidup dan sakral.
Peranan vital dari Dewata Trimurti dalam kesadaran Batak dan perlibatannya
dalam urusan hidup Batak mencerminkan kepedulian dan perlibatan Allah Tinggi,
sejauh mereka merupakan penghadiran dan pelaksana kehendak Allah Tinggi.
Imanensi Allah Tinggi dalam unsur-unsur khusus alam semesta dicerminkan oleh paham mengenai tondi. Setiap pengada menyandang tondi, kedalaman rahasia yang menjadi subjek penghormatan keagamaan dan ritusnya. Tondi manusia sering dianggap seolah bereksistensi sendiri, berupa roh yang mengontrol hidupnya dalam suka dan duka. Sarwa resapan perlambangan bulan dan unggulnya peranan Adat kedewataan lebih jauh mengindikasikan paham bahwa Batak-Toba menyakini perlibatan langsung sakral Tuhan dan keprihatinannya atas ciptaannya.
V.
Refleksi kritis
Konsep kepercayaan masyarakat Batak Toba mengenai Allah selalu dijunjung tinggi, dan merupakan suatu hal yang selalu ada dalam seluruh kegiatan kehidupan manusia. Allah yang dikenal dan dirasakan lewat berbagai tradisi budaya tersebut turut mempengaruhi paradigma dan religiusitas masyarakat Batak Toba. Pewahyuan diri Mulajadi Nabolon, dirasakan salah satunya lewat tunggal panaluan.
Atas kepercayaan mereka ini, masyarakat Batak Toba memiliki ritus tertentu untuk berelasi denga-Nya, entah itu memohon suatu berkat ataupun menyampaikan persembahan (pelean). Dalam acara pemujaan atau penyembahan yang Ilahi (Debata Mulajadi Nabolon) itu, masyarakat Batak Toba memiliki perantara sebagai pemimpin. Banyak nama atau gelar yang diberikan kepada pemimpin tersebut, ada yang menyebutnya sebagai Malim, Datu, Guru Sibaso, Halak namalo, dan lain-lain.
Allah yang dimengerti oleh masyarakat Batak Toba itu bersifat transedensi dan imanensi. Eksistensi dan esensi Allah tetap sama sejak dahulu, sekarang, dan selama-lamanya. Oleh sebab itu masyarakat Batak Toba sangat kuat dalam mempertahankan tradisi wahyu Debata Mulajadi Nabolon hingga sampai saat ini. Sehingga tak jarang ditemukan bahwa seorang Batak Toba yang telah beragama masih juga melaksanakan prosesi ritual dari kepercayaan agama tradisional kulturnya sendiri.
Tentang
apa yang dihayati dalam agama tradisional itu tidak bisa lepas dari nilai-nilai
dan kearifan yang dijunjung tinggi dalam adat budaya Batak Toba. Dewasa ini
kegiatan adat sering menjadi prioritas ketimbang peribadatan keagamaan. Sulit memahami bahwa
konsep wahyu tentang Debata Mulajadi Nabolon yang telah diterima dari para
leluhur telah berubah bentuk menjadi konsep yang lebih berkembang dan
reflektif. Sebagai implikasi ialah bahwa perlu mempertahankan konsep wahyu
ilahi dalam kebudayaan. Akan tetapi penting melihat dan menghidupi kekhasan
dari agama yang telah dipeluk sekarang. Sesuatu yang sama dalam agama dan
tradisi budaya biar bagaimanapun juga tetap memiliki perbedaan yang harus
dipih-pilah bukannya justru mencamuradukkannya begitu saja.
DAFTAR PUSTAKA
Sinaga, Anicetus. B. Allah Tinggi Batak Toba: Transendensi dan Imanensi. Yogyakarta: Kanisius. 2014.
Nainggolan, Togar. Batak Toba: Sejarah dan Transformasi Religi. Medan: Bina Media Perintis. 2012.
[1] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi
Batak-Toba, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 47.
[2] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 49.
[3] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 55.
[4] Togar Nainggolan, Batak Toba:
Sejarah dan Transformasi Religi,(Medan: Bina Media Perintis, 2012), hlm.
31-33.
[5] Togar Nainggolan, Batak Toba...,
hlm. 31.
[6] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 80.
[7] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 80-83.
[8] Adat adalah hukum
fundamental alam semesta yang mencakup keseluruhan ketetapan moral dan legal,
dan juga hukum-hukum fisik dan alam.
[9] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 83-84.
[10] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 84-86.
[11] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi...,
hlm. 128-130.
0 Komentar