1.        Pendahuluan

Setelah menciptakan segala-galanya demi mendukung manusia di atas bumi, maka Allah mencipta manusia, mula-mula sebagai penghuni kayangan, kemudian ditempatkan di atas bumi, di Banua Tonga yang ditempa oleh Si Boru Deang Parujar! Berasal dari keturunan Dewa Trimurti – Si Boru Deang Parujar adalah putri Dewa Batara Guru-, dia beserta suaminya Si Raja Ihat Manisia – Putra Dewata Mangala Bulan- ditempatkan pada paradis purba, pada bumi perdana[1].

Dalam Paradis Purba Batak mengenal “Pohon Pengetahuan”, yang bernama Sangha Madeha, yang buahnya terlarang untuk dimakan. Sebelum Allah menciptakan manusia yang sangat mulia dan kudus, tak kekurangan apapun, tempat yang sungguh mulia, bahagia dan luhur. Allah melarang manusia supaya “Jangan memakan buah kayu Anggir Sangha Madeha, kayu pengetahuan akan yang baik dan yang jahat, yang terdapat di tengah taman”. “Jangan kau memakannya, sebab akan jadi malapetaka, engkau akan mati.”

Manusia menyandang privelese ilahi dan status innocentiae.[2] Privelese pertama adalah manusia menikmati kebahagiaan ilahi tertinggi. Manusia dengan bebas bergaul dengan dewa-dewi penghuni kayangan termasuk Debata Natolu dan para hamba  Mulajadi Nabolon, seperti dewa Asiasi, Si Leangleang Nagurasta, Untunguntung Nabolon. Merekapun termasuk pengada-pengada adikodrati yang berfamili dengan dewa-dewi. Dengan bebas manusia dapat berkunjung ke kayangan bahkan bergaul akrab-bakti dengan Sang Khalik, Mulajadi Nabolon. Privelese kedua adalah kebebasan dari penderitaan. Manusia dibenarkan untuk hanya menikmati kebahagiaan tertinggi, sehingga tidak perlu berjerih payah. Manusia tidak perlu bekerja memeras keringat demi penghidupan serta tidak merasa takut dan cemas. Manusia cukup hanya menikmati paradis bahari sepuas hati. Privelese ketiga adalah tidak mati. Karena bebas dari kecemasan, penyakit dan kelelahan serta bahwa mereka sesaudara dengan dewa-dewi, maka manusia senasib dengan dewa-dewi dan manusia tidak mati. Manusia ditakdirkan untuk hidup bahagia selama-lamanya.

Selain dari pergaulan dengan penghuni Benua Atas, terdapat dua pertimbangan mengenai zaman keemasan bahari. Pertama adalah paham bahwa Mulajadi Nabolon sendiri atau lewat hambanya Si Boru Deang Parujar, menaklukkan pangeran lautan khaos Naga Padoha.[3] Dengan begitu, bagi manusia dan ciptaan terdapat kala yang paling tenteram, sebab mereka jauh dari ancaman kuasa khaos perusak dari Benua Bawah. Kedua adalah status perawan dari ciptaan yang oleh kebaruannya dan sakralitasnya menjadi status luhur. Manusia menyandang status asli dan merupakan karya perdana yang langsung dari Mulajadi Nabolon.

Kebahagiaan zaman keemasan manusia perdana menikmati air kehidupan dari sumber hidup sendiri. Pohon kehidupan dihadirkan oleh beringin-jabijabi, yang memancarkan air kehidupan. Setiap penduduk desa dapat meminumnya sepuas hati. Apabila manusia melakukan sesuatu yang tercela atau dosa, manusia dapat menyucikan diri dengan air yang sama. Tindak mencipta dan menyelenggara dari Mulajadi Nabolon, untuk menopang dan membawa ciptaan kepada kepenuhan hidup dan kebahagiaan dilambangkan oleh Pohon Penciptaan.[4] 

2.        Pengertian Dosa

2.1    Etimologi Dosa

Menurut Charles C. Ryrie dalam bukunya Teologi Dasar, dosa adalah suatu tindakan yang tidak mencapai sasaran; kebejatan; pemberontakan; kesalahan; memilih jalan yang tidak benar, kejahatan, penyimpangan, keadaan tidak beriman, perbuatan jahat, pelanggaran terhadap hukum, kebodohan, kesengajaan meninggalkan jalan benar.[5]

Dosa adalah suatu perbuatan yang menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan Allah, karena manusia mencintai dirinya atau hal-hal lain sedemikian rupa sehingga menjauhkan diri dari cinta kasih Allah.[6] Dosa membuat manusia menjadi teman kejahatan. Dosa mengakibatkan keserakahan, kekerasan dan ketidakadilan merajalela di tengah masyarakat. Dosa-dosa mengakibatkan situasi buruk dan mendukung institusi yang bertentangan dengan kebaikan Allah. Dosa merupakan satu perkataan, perbuatan atau satu keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi. Satu penghinaan terhadap Allah. Ia membangkang terhadap Allah dalam ketidaktaatan, yang berlawanan dengan ketaatan Allah.

Dosa adalah satu penghinaan terhadapa Allah: “Terhadapa Engkau, terhadapa Engkau sajalah aku berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat” (Maz 51,6). Suatu pemberontakan terhadap kasih Allah dan membalikkan hati manusia dari Allah. Dosa perdana adalah suatu ketidak-taatan, suatu pemberontakan terhadap Allah, didorong oleh keinginan menjadi “sama seperti Allah” dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat. Dengan demikian, dosa adalah “cinta diri yang memikat sampai menjadi penghinaan terhadap Allah”.

2.2    Dosa  dalam Perspektif Batak Toba

Dalam perspektif Batak Toba, kedosaan manusia adalah kesombongan dan kedurhakaan terhadap Allah.[7] Manusia semakin jahat, manusia berdoa bukan hanya kepada keempat Dewata, melainkan lebih kepada roh-roh dan arwah orang mati. Dosa pokok manusia juga adalah pelanggaran hukum pernikahan yang sudah ditetapkan oleh Pencipta, bahkan dimeteraikan dalam hati sebagai hati nurani. Pada awal-mula hanya terdapat satu benua. Setelah tata affina (partuturan) menjadi kacau, orang berselingkuhan, sehingga dunia (Banua Tonga, Banua Toru dan semua benda angkasa) dipisahkan dan dijauhkan.

Tuhan berkehendak bahwa manusia tunduk kepada kuasa mutlaknya sebagai persyaratan dasar bagi kebahagiaan manusia. Namun manusia yang dicipta dengan persyaratan mulia, yang memampukannya meretas dan menembus ketidakterbatasan, menyalahgunakan privelese. Inilah dosa berat manusia, dosa kesombongan dan kedurhakaan.[8]

3.        Kejatuhan Manusia dalam Dosa

3.1    Manusia Jatuh dalam Dosa menurut Budaya Batak Toba

Manusia tidak sanggup bertahan dalam status paradis bahari. Manusia telah berdosa dan mendurhaka terhadap Allah. Manusia gagal untuk mempertahankan ketiga privelesenya. Semasa kemesraan itu, Mulajadi Nabolon menyampaikan perintah tentang apa yang wajib dilakukan dan dihindarkan. Namun manusia jatuh ke dalam dosa dan status terberkati eksistensi mereka sirna selama-lamanya. Allah menghukum manusia dengan hukuman yang paling berat. Segala privelesenya dicabut dan ditiadakan. Memuja roh-roh dan arwah orang mati lebih dari Mulajadi Nabolon dilihat sebagai sebab kejatuhan. Kesombongan manusia mendorong pemujaan unsur ciptaan atau diri sendiri dan menjadikannya dewa-dewi menggantikan Mulajadi Nabolon dan Dewata Trimurti. Allah sangat murka dan menghukum manusia yang “menguapkan bau busuk”. Allah mencabut dan meretas hubungan pergaulan manusia dengan penghuni kayangan. Tangga yang menghubungkan kedua kediaman kayangan dan manusia adalah tangga batu Tinggiraja dicabut dan akar pohon kehidupan yang menghubungkan kedua banua dipotong.

Menurut Loeb adalah kesombongan manusia telah meruntuhkan jalan ke Benua Atas. Manusia dijauhkan dari hidup dan pergaulan dengan dewa-dewi, hanya Dewa Asiasi (Dewa Pengasih) ditinggalkan di atas bumi menjadi penjaga dan penunjuk arah. Dengan demikian, serta-merta penuhlah ketiga privelese adikodrati dari manusia yakni kebahagiaan tertinggi, kebebasan dari derita dan penyakit serta terutama manusia harus mati.[9]

Sesudah kejatuhan, elan vital manusia tidak dicabut. Untuk bertahan hidup, manusia harus melakukan perjuangan yang tanpa akhir, sebab Allah sudah jauh dan tidak lagi memihaknya. Naga  Padoha  dengan antek-anteknya adalah neraka yang senantiasa merongrong hidup manusia. Tetapi kaki tangannya, roh-roh jahat dan roh orang mati adalah kawan hidup yang tak terelakkan. Sehingga manusia harus memasang siasat. Pada waktu-waktu tertentu diadakan sembah bakti kepada Pencipta dan dewa-dewi sepihaknya, serentak pula diadakan ritus pengusiran roh-roh jahat dan antek-antek Naga Padoha. Namun manusia merasa bahwa nenek moyang berada sepihak dengan Mulajadi Nabolon, sehingga diadakan pemujaan arwah nenek moyang. Dikembangkan suatu paham roh-roh bahwa mereka merupakan theion atau numen yang harus dihormati, maka mereka harus “dihormati” dan “dipuja”.[10] Semua roh orang mati menjadi begu, yang secara embrio menyandang tramendum-fascinosum. Tak lama kemudian terjadi penyaringan begu. Sebagian besar sirna dan hilang dari peredaran.

Tetapi kelompok unggul naik tingkat menjadi sumangot, arwah unggulan. Keunggulannya ditentukan oleh keistimewaan sahala (wibawa arwah). Bila keturunan berkembang dan makmur, itulah tanda keunggulannya sehingga patut ditinggikan menjadi sumangot. Peningkatan ini juga ditentukan oleh intensitas dan adekuasi pemujaan dari pihak keturunan. Sebagai tanda peningkatan status ialah kuburan disemen dan ditinggikan, sambil menanam tanaman religius khusus, ompuompu, silinjuang dan sebagainya.

Pada zaman dulu, seorang Batak pasti lebih mengingat dan lebih menghormati sumangot daripada Allah. dari situlah agaman orang Batak disebut sipelebegu, pemuja arwah. Tingkat ketiga dan terakhir yang dapat dicapai oleh arwah ialah sombaon. Di sinilah tercapai tingkat kekafiran Batak dan dengan demikian juga kerancuan iman Batak. Seyogianyan hanya Allah yang pantas disembah sedangkan sombaon adalah khalikah. Boleh dihormati, tetapi di bawah Allah dan sebagai ciptaan Allah. Dengan menjadikannya sombaon, yang patut disembah, maka dengan itu melemahkan sembah kepada Allah  sehingga sungguh suatu pembiasan iman dan menjadi kedurhakaan yang sangat fatal. Nuansa ini tercantum sangat kuat dalam paham mengenai “dosa asal”. Sembah manusia tidak murni lagi hanya kepada Allah, melainkan lebih banyak terhadap arwah, terutama sombaon dan sumangot. “Bumi berbau busuk”. Dari itu Allah menghukumnya dengan memutus jalan pergaulan dengan manusia.

3.2    Manusia Jatuh dalam Dosa menurut Agama Kristiani

Dalam agama kristiani[11], Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya dan menerimanya dalam persahabatan-Nya. Sebagai makhluk yang dijiwai roh, manusia hanya dapat menghayati persahabatan ini dalam kepatuhan bebas kepada Allah. Itu dinyatakan dalam larangan bagi manusia untuk makan dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej 2:17). “Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” ini mengingatkan secara simbolis akan betas-batas yang tidak boleh dilewati, yang manusia sebagai makhluk harus akui dengan bebas dan perhatikan dengan penuh kepercayaan. Manusia bergantung pada Pencipta, ia berada di bawah hukum-hukum ciptaan dan norma-norma kesusilaan yang mengatur penggunaan kebebasannya.

Digoda oleh setan, manusia membiarkan kepercayaan akan Penciptanya mati di dalam hatinya, menyalahgunakan kebebasannya dan tidak mematuhi perintah Allah. Di sinilah letak dosa pertama manusia. Sesudah itu tiap dosa merupakan ketidaktaan kepada Allah dan kekurangan kepercayaan akan kebaikannya. Dalam dosa, manusia mendahulukan dirinya sendiri daripada Allah dan dengan dengan demikian mengabaikan Allah: ia memilih dirinya melawan Allah, melawan kebutuhan-kebutuhan keberadaannya sendiri sebagai makhluk dan dengan demikian juga melawan kesejahteraannya sendiri. Diciptakan dalam keadaan kekudusan, manusia ditentukan supaya “di-ilahi-kan” sepenuhnya oleh Allah dalam kemuliaan. Digoda oleh setan, ia hendak “menjadi seperti Allah”.

4.         Akibat kejatuhan Dosa

       4.1     Menurut Budaya Batak Toba

Mulajadi Nabolon meninggalkan manusia dan membatasi pergaulan akrab sediakala. Kesombongan manusia memaksa Mulajadi Nabolon  menghukum manusia dengan memutus jalan menuju Benua Atas. Menurut versi yang dikutip oleh Pleyte, hubungan dengan Benua Atas diputuskan tatkala beberapa pahlawan dari Benua Tengah tatkala pulang dari Benua Atas meruntuhkan karang Toras Nanggar Jadi, yaitu jembatan penghubung antara kedua benua. Sementara menurut Hoetangaloeng dan Tampubolon, ketika Allah Tinggi dan pengiringnya kembali ke Benua Atas, sesudah pemberkatan anak-anak Sideang Parujar, “tali penghubung pun diputus sehingga mereka terdiam saja memandanginya”. Akibatnya adalah pemerosotan status manusia.[12]

Merusak pohon kehidupan berarti mengurangi sumber kebahagiaan, di mana air kehidupan dijadikan sebagai persucian diri dari dosa. Oleh karena itu, merusak pohon kehidupan ialah merusak kemampuan Benua Tengah melawan kuasa kejahatan.

Beranggapan bahwa hidup manusia bergantung pada Allah Tinggi dalam hubungannya dengan kuasa merusak dari Benua Bawah, maka memutuskan pergaulan akrab dengan Allah Tinggi berarti merusak benteng paling tangguh melawan penderitaan, musibah, wabah, kecemasan dan akhirnya kematian. Benua Tengah diasingkan dari sumber eksistensinya, akan menjadi lemah dan tak mampu menangkis sergapan kuasa dari Benua Bawah. Kuasa merusak dari Benua Bawah dipahami sebagai membiarkan bebas roh-roh jahat terutama roh jahat kolera.

Orang beranggapan bahwa bumi, udara dan air dihuni oleh roh-roh. Di hutan dan padamg sepi jumlahnya paling banyak, di sana roh-roh itu mengintip manusia dan menimbulkan penyakit dan kegilaan, melarikannya dan membunuh dengan ngeri. Pada waktu malam roh-roh ini mengintip rumah-rumah, menerobos lobang dinding atau memasuki rumah dalam rupa manusia atau binatang. Pada waktu wabah, mereka terkadang dapat melihat. Terdapat orang yang mampu melihat arwah dan roh-roh. Roh-roh itu ingin mengikuti roh orang mati di belakang peti mayat. Orang melihat juga roh orang hidup jongkok pada peti mayat, yang sendirinya akan mati.

4.2       Menurut Agama Kristiani

Dalam Kitab Suci[13] menunjukkan akibat-akibat dari ketidaktaatan pertama yang membawa malapetaka. Adam dan Hawa langsung kehilangan rahmat kekudusan asli. Mereka takut kepada Allah (Kej 3:9-10), tentang Siapa mereka telah membuat karikatur seorang Allah, yang terutama mencari kepentingan-kepentingan-Nya sendiri (Kej 3:5). Keselarasan yang mereka miliki berkat keadilan asli, sudah rusak; kekuasaan kemampuan-kemampuan rohani dari jiwa atas badab, sudah dipatahkan (Kej 3:7); kesatuan antara pria dan wanita mengalami ketegangan (Kej 3:11-13); hubungan mereka ditandai dengan keinginan dan nafsu untuk berkuasa. Juga keselarasan dengan ciptaan rusak: ciptaan kelihatan menjadi asing dan bermusuhan dengan manusia (Kej 3:17-19). Karena manusia, seluruh makhluk “telah ditaklukkan kepada kesia-siaan” (Rom 8:20). Akhirnya akan jadilah akibatnya, yang telah diramalkan dengan jelas sebelum dosa ketidaktaatan: “manusia adalah debu, dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19).

5.        Mangase Taon: Penciptaan Ulang Bumi

Pengalaman ketidak-berdayaan menghadapi begitu banyak roh jahat telah menimbulkan anomali pada agama Batak-Toba. Pada satu sisi, orang yakin bahwa keselamatan dan penghiburan hanya dapat diharapkan hanya dari Allah. tetapi hidup sehari-hari penuh malapetaka dari pihak kekuatan jahat. Beberapa unggulan roh-roh jahat diambil hati dengan persembahan. Dalam bentuk ekstrim, orang lebih peka dan bergantung pada roh-roh daripada Allah Tinggi.

Kendati demikian, orang sadar bahwa tidak dapat mengharapkan hal baik dari roh-roh jahat. Dari itu, manusia menyelenggarakan ritus Pamuli Begu, pengusiran roh jahat. Pengusiran menyeluruh roh-roh jahat ini, yang serentak merupakan pemulihan dan mangase taon (penciptaan ulang) Benua Tengah menjadi asli dan murni merupakan reaktualisasi tindak mencipta dari Allah Tinggi dalam Perayaan Tahun Baru. Dalam perayaan ini, raja Benua Bawah dilihat sebagai ditaklukkan, Benua Tengah dicipta ulang dan dikembalikan kepada sakralitas dan kebahagiaan aslinya. Dalam ibadat Mangase Taon ini merupakan bukti ketangguhan iman yang benar, sebab pusatnya adalah pemujaan Sang Pencipta, Mulajadi Nabolon.[14] Ritus Mangase Taon terbukti tetap merupakan napas dan arketipe segala ritus dan bakti Batak-Toba.

6.        Refleksi Kritis

Dengan kejatuhan manusia dalam dosa, membuat manusia menjadi jauh dari Allah dan tidak lagi mengalami kebahagian paradis bahari. Manusia tidak lagi bersama dengan Allah. Walaupun, manusia tidak lagi bersama dengan Allah (di dalam kebahagiaan paradis bahari), manusia harus tetap mencari kebahagiaan tersebut, yaitu tinggal bersama dengan Allah, bersatu dengan Allah. Dalam persekutuan dengan Allah merupakan mandat dan anugerah kepada manusia. Karena manusia adalah ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah, maka, manusia harus bersatu dengan Allang, karena Dialah sumber hidup.

Manusia yang berdosa berpikir bahwa ia dapat hidup di luar kehendak Allah dan menentukan apa yang baik dan yang jahat berdasarkan kehendaknya sendiri. Tetapi di luar Allah hanya ada kematian sebagai upah dosa. Terputusnya hubungan dengan Allah berarti terputusnya hubungan dengan Sumber hidup itu sendiri. Dengan rusaknya relasi dengan Allah, pengenalan manusia akan Allah pun rusak, dan dengan demikian pengenalan akan dirinya juga rusak.

Manusia dengan segala daya dan upayanya berusaha mengenal diri dan memberi makna diri di luar Allah. Oleh karena itu, manusia harus berbalik kepada Allah yang memberi kehidupan. Manusia tidak akan bisa berdaya, apabila semakin menjauh dari Allah, karena hidup ini ada di tangan Allah. Maka, manusia harus bertobat dan kembali kepada Allah Sang sumber hidup.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sinaga, Anicetus. B. Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak. Medan: Bina Media Perintis, 2004.

Sinaga, Anicetus B. Allah Tinggi Batak Toba: Transendensi dan Imanensi. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Ryrie, Charles C.  Teologi Dasar. Malang: Gandum Mas, 2011.

Manurung, Markus. Sudahkah aku mengaku Dosa?. Medan: Bina Media Perintis, 2014.

 



[1] Anicetus. B. Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak (Medan: Bina Media Perintis, 2004), hlm. 3.

[2] Anicetus. B. Sinaga, Dendang Bakti..., hlm. 3-4.

[3] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba: Transendensi dan Imanensi (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 117.

[4] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba..., hlm. 118.

[5] Charles c  ryrie, Teologi Dasar (Malang: Gandum Mas, 2011), hlm. 286.

[6] Markus Manurung, Sudahkah aku mengaku Dosa? (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hlm. 80-81.

[7] Anicetus. B. Sinaga, Dendang Bakti..., hlm. 4.

[8] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba..., hlm. 119.

[9] Anicetus. B. Sinaga, Dendang Bakti..., hlm. 5.

[10] Anicetus. B. Sinaga, Dendang Bakti..., hlm. 6.

[11] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no. 396-398. Untuk kutipan selanjutnya akan ditulis KGK dan diikuti nomor.

[12] Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba..., hlm. 120.

[13] KGK, no. 399-400.

[14] Anicetus. B. Sinaga, Dendang Bakti..., hlm. 6.